Jumat, 07 Desember 2012

Kumpulan Peraturan Perundang-Undangan yang berkaitan langsung dengan Keselamatan tenaga kerja dan kesehatan tenaga kerja di Indonesia


UNDANG· UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1970 TENTANG KESELAMATAN KERJA 
(Lembaran Negara No.1 tahun 1970) 

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA 
Menimbang  :
a.  bahwa setiap  tenaga  kerja  berhak  mendapat 
perlindungan  atas  keselamatan  dalam 
melakukan pekeIjaan untuk kesejahteraan hidup 
dan meningkatkan produksi serta produktifitas 
nasional. 
b. bahwa  setiap  orang  lainnya  yang  berada  di 
tempat kerja perlu terjamin keselamatannya. 
c. bahwa setiap sumber produksi perlu dipakai dan 
dipergunakan secara aman dan efisien. 
d. bahwa  berhubung  dengan  itu  perlu  diadakan 
segal a daya upaya untuk membina norma-norma 
perlindungan kerja. 
e. bahwa  pembinaan  norma-norma  itu  perlu 
diwujudkan  dalam  Undang-undang  yang 
memuat ketentuan - ketentuan Pokok mengenaI 
tenaga keIja (Lembaran Negara Republik Indo­
nesia tahun 1969 Nomor 55, Tambahan Lembar 
Negara Nomor 2912). 
Mengingat  : I.  Pasal-pasal 5, 20 dan  27 UUD 1945. 
2. Pasal-pasal 9 dan 10 UU No. 14 th 1969 tentang 
Ketentuan-ketentuanPokok  mengenai  Tenaga 
Kerja (LNRI th  1969 No.  55 TLN No. 2912). Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong. 
MEMUTUSKAN 
I. Mencabut  : Veiligheidsreglarnent tahun  19\0 (Stb\. No. 406). 
2. Menetapkan  : UNDANG-UNDAN6 KESELAMATAN KERJA 


BAB  I 
TENTANG ISTILAH-ISTILAH 

Pasal.
Dalarn Undang-undang ini yang dirnaksud dengan : 
(1) "ternpat  kerja"  ialah  tiap  ruangan  atau  lapangan,  tertutup  atau 
terbuka,  bergerak  atau  tetap  dimana  tenaga  kerja  bekerja,  atau 
yang sering dimasuki tenaga kerja untuk keperluan suatu usaha 
dan  dimana  terdapat sumber-sumber  bahaya sebagaimana  di­
perinci dalam pasal2. Termasuk tempat ketja ialah semua ruangan, 
lapangan  halaman  dan sekeliIingnya  yang  merupakan  bagian­
bagian atau yang berhubungan dengan tempat kerja tersebut. 
(2) "pengurus ialah orang yang mempunyai tugas memlmpin langsung 
sesuatu tempat kerja atau bagiannya yang berdiri sendiri. 
(3) "pengusaha" ialah : 
a. orang atau badan hukum yang menjalankan sesuatu usaha milik 
sendiri dan untuk keperluan itu mempergunakan tempat kerja. 
b. orang atau badan hukum yang menjalankan sesuatu usaha bukan 
miliknya dan untuk keperluan itu mempergunakan tempat kerja. 
c. orang atau bad an hukum, yang di Indonesia mewakili orang1atau 
badan hukum termaksud pada (a) dan (b),jikalau yang diwakili 
berkedudukan di luar Indonesia. 
(4) "direktur" ialah pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Tenaga Kerja 
untuk melaksanakan Undang-undang ini. 
(5) "pegawai pengawas" ialah pegawai teknis berkeahlian khusus dari 
Departemen Tenaga Kerja yang ditunjuk oleh Menteri Tenaga Kerja. 
'"' (6) "ahli  keselamatan  kerja  "  ialah  tenaga  teknis  yang  berkeahlian 
khusus  dari  luar  Departemen  Tenaga  Kerja  yang  ditunjuk  oleh 
Menteri Tenaga Kerja untuk mengawasi ditaatinya Undang-undang 
ini. 


BAB  II 
RUANG LINGKUP 
Pasal  2 
(I) Yang diatur oleh Undang-undang ini ialah keselamatan kerja dalam 
segala tempat kerja baik di darat, di dalam tanah, di permukaan air, 
di  dalam  air maupun  di  udara,  yang  berada  di  dalam  wilayah 
kekuasaan hukum Republik Indonesia. 
(2) Ketentuan - ketentuan dalam ayat (1) tersebut berlaku dalam tempat 
kerja, dimana  : 
a. dibuat, dicoba, dipakai atau dipergunakan mesin, pesawat, alat 
perkakas,  peralatan  atau  instalasi  yang  berbahaya atau  dapat 
menimbulkan kecelakaan, kebakaran atau peledakan. 
b.  dibuat,  diolah,  dipergunakan,  diperdagangkan, diangkut  at au 
disimpan  bahan  atau  barang,  yang  dapat  meledak,  mudah 
terbakar,  menggigit,  beracun,  menimbulkan  infeksi,  bersuhu 
tinggi. 
c.  dikerjakan pembangunan, perbaikan, perawatan, pembersihan 
atau  pembongkaran  rumah,  gedung  at au  bangunan  lainnya 
termasuk bangunan pengairan, saluran atau terowongan di bawah 
tanah dan sebagainya atau dimana dilakukan pekerjaan persiapan. 
d.  dilakukan  usaha  : pertanian,  perkebunan,  pembukaan  hutan, 
pengerjaan  hutan,  pengolahan  kayu  atau  hasil  hutan  lainnya, 
peternakan, perikanan dan lapangan kesehatan. 
e.  dilakukan usaha pertambangan dan pengolahan : emas, perak, 
logam, atau biji logam lainnya, batu-batuan, gas, minyak atau 
mineral lainnya,  baik di  permukaan  at au  di  dalam maupun di 
dasar perairan. 
f. dilakukan pengangkutan barang, binatang, atau manusia, baik 
di daratan, melalui terowongan, di  permukaan air di dalam air 
maupun di udara. g. dikerjakan  bongkar muat  barang  muatan  di  kapal,  perahu, 
dermaga, dok, stasiun atau gudang. 
h. dilakukan penyelaman pengambilan benda dan pekerjaan lain di 
dalam air. 
\. dilakukan pekerjaan dalam ketinggian di atas permukaan tanah 
atau perairan. 
J. dilakukan  pekerjaan di  bawah tekanan  udara  atau suhu  yang 
tinggi atau rendah. 
k. dilakukan pekerjaan yang mengandung bahaya tertimbun tanah, 
kejatuhan, terkena pelantingan benda, terjatuh atau terperosok, 
hanyut at au terpelanting. 
I. dilakukan pekerjaan dalam tangki sumur atau lobang. 
m. terdapat atau menyebar suhu, kelembaban, debu, kotoran, api, 
asap, uap, gas, bembusan angin, cuaca, sinar atau radiasi suara 
atau getaran. 
n. dilakukan pembuangan at au pemusnahan sampah atau Iimbah. 
o.  dilakukan pemancaran, penyinaran, atau penerimaan radio, ra­
dar, televisi atau telepon. 
p. dilakukan pendidikan, pembinaan, percobaan, penyelidikan, atau 
riset (penelitian) yang menggunakan alat teknis. 
q. dibangkitkan, dirubah, dikumpulkan, disimpan, dibagi-bagikan, 
atau disalurkan Iistrik, gas minyak at au air. 
r. diputar film,  dipertunjukkan sandiwara at au  diselenggarakan 
rekreasi lainnya yang memakai peralatan, instalasi Iistrik atau 
mekanik. 
(3) Dengan peraturan perundangan dapat ditunjuk sebagai tempat kerja, 
ruangan-ruangan  atau  lapangan-Iapangan  lainnya  yang  dapat 
membahayakan keselamatan atau kesehatan yang bekerja dan atau 
berada di  ruangan atau lapangan itu dan dapat dirubah perincian 
tersebut dalam ayat (2). 

BAB  OJ 
SYARAT-SYARAT KESELAMATAN KERJA 
Pasal3 
(1) Dengan  peraturan  perundangan  ditetapkan  syarat-syarat  ke­
selamatan kerja untuk : 
a. mencegah dan  mengurangi kecelakaan. 
b. mencegah, mengurangi, dan memadamkan kebakaran. 
c.  mencegah dan mengurangi bahaya peledakan. 
d. memberikan  kesempatan  atau jalan menyelamatkan diri  pada 
waktu kebakaran atau kejadian-kejadian lain yang berbahaya. 
e. memberikan pertolongan pada kecelakaan. 
f. memberikan alat-alat perlindungan diri pada para pekerja. 
g.  mencegah dan mengendalikan timbul  atau menyebar luasnya 
suhu, kelembaban. debu, kotoran, asap, gas, hembusan. 
h. mencegah dan mengendalikan timbulnya penyakit akibat kerja 
baik physik maupun psikis, peracunan, infeksi dan penularan. 
i. memperoleh penerangan yang cukup dan sesuai. 
j. menyelenggarakan suhu dan lembab udara yang baik. 
k. menyelenggarakan penyegaran udara yang cukup. 
I. memelihara kebersihan, kesehatan, dan ketertiban. 
m.memperoleh keserasian antara tenaga kerja, lingkungan,  cara 
dan proses kerjanya. 
n. mengamankan  dan  memperlancar  pekerjaan  bongkar muat. 
perlakuan dan penyimpanan barang. 
o. mengamankan dan memelihara segalajenis bangunan. 
p. mencegah terkena aliran listrik yang berbahaya. 
q. menyesuaikan dan menyempumakan pengamanan pada pekerjaan 
yang bahaya kecelakaan menjadi bertambah tinggi. 
(2)  Dengan  peraturan  perundangan  dapat  dirubah  perincian seperti 
tersebut  dalam  ayat  ()) sesuai  dengan  perkembangan  i1mu 
pengetahuan. teknik  dan  teknologi serta pendapatan pendapatan 
baru di kemudian hari. Pasal4 
(I) Dengan  peraturan  perundangan  ditetapkan  syarat-syarat 
keselamatan kerja dalam perencanaan, pembuatan, pengangkutan . 
peredaran,  perdagangan,  pemasangan,  pemakaian,  penggunaan, 
pemeliharaan, dan penyimpanan bahan, barang, produk teknis dan 
aparat produksi yang mengandung dan dapat rnenirnbulkan bahaya 
kecelakaan. 
(2)  Syarat-syarat tersebut rnernuat prinsip-prinsip teknis ilrniah rnenjadi 
suatu  kurnpulan  ketentuan yang disusun secara teratur, jelas dan 
praktis yang rnencakup bidang konstruksi, bahan, pengolahan, dan 
pembuatan,  perlengkapan alat-alal per-lindungan, pengujian dan 
pengesahan,  pengepakan  atau  pernbungkusan,  pernberian  tanda­
tanda  pengenal  atas  bahan,  barang,  produk  teknis  dan  aparat 
produksi  guna rnenjarnin  kese1arnatan  barang-barang itu sendiri, 
keselarnatan  tenaga  kerja  yang rnelakukannya  dan  keselarnatan 
urnum. 
(3)  Dengan  peraturan  perundangan  dapat  dirubah  perincian seperti 
tersebut  dalarn  ayat (I) dan  (2).  dengan  peraturan  perundangan 
ditetapkan siapa yang berkewajiban rnernenuhi dan rnentaati syarat­
syarat keselarnatan tersebut. 
BAB  IV 

PENGAWASAN 

Pasal  5 
(l) Direktur rnelakukan pelaksanaan urn urn terhadap Undang-undang 
ini sedangkan para pegawai pengawas dan ahli keselarnatan kerja 
ditugaskan rnenjalankan pengawasan langsung terhadap ditaatinya 
Undang-undang ini dan rnernbantu  pelaksanaannya. 
(2)  Wewenang  dan kewajiban  Direktur,  Pegawai  pengawas  dan 
keselamatan  kerja  dalarn  rnelaksanakan  Undang-undang  diatur 
dengan peraturan perundangan. Pasa)  6 
(I) Barang siapa tidak menerima keputusan Direktur dapat mengajukan 
permohonan banding kepada Panitia Banding. 
(2) Tata cara permohonan  banding, susunan  Panitia Banding, Tugas 
Panitia Banding, dan lain-Iainnya ditetapkan oleh Menteri Tenaga 
Kerja. 
(3) Keputusan Panitia Banding tidak dapat dibanding lagi. 
Pasa)  7 
Untuk pengawasan berdasarkan Undang-undang ini  pengusaha harus 
membayar rctribusi  menurut  kctentuan  - ketentuan  yang  akan  diatur 
dengan peraturan perundangan. 
Pasa)  8 
(1) Pen gurus diwajibkan memeriksa kesehatan badan, kondisi mental 
dan  kemampuan  fisik  dari  tenaga kcrja yang  akan  diterimanya 
maupun akan dipindahkan scsuai dengan sifat-sifat pekcrjaan yang 
diberikan kepadanya. 
(2) Pengurus diwajibkan memeriksa semua tenaga kerja yang berada 
di bawah pimpinannya, secara berkala pada dokter yang ditunjuk 
oleh Pengusaha dan dibenarkan oleh Direktur. 
(3) Norma-norma mengenai pengujian kesehatan ditetapkan dengan 
peraturan perundangan. 
BAB  V 
PEMBINAAN 
Pasa)  9 
(1) Pengurus  diwajibkan  menunjukkan  dan  menjelaskan  pada  tiap 
tenaga kerja barn ten tang : 
a. kondisi-kondisi  dan bahaya-bahaya yang dapat timbul dalam 
tempat ketja. 
b. semua pengamanan dan alat-alat perlindungan yang diharnskan 
dalam tempat kerja. c. alat-alat perlindungan diri bagi tenaga kerja yang bersangkutan. 
d. cara-cara  dan  sikap  yang  aman  dalam  melaksanakan 
pekerjaannya. 
(2) Pengurus  hanya  dapat  memperkerjakan  tenaga  kerja  yang 
bersangkutan setelah ia  yakin  bahwa tenaga kerja tersebut telah 
memahami syarat-syarat tersebut di atas. 
(3)  Pengurus diwajibkan  menyelenggarakan  pembinaan  bagi semua 
tenaga kerja yang berada di bawah pimpinannya, dalam pencegahan 
kecelakaan  dan  pemberantasan  kebakaran  serta  peningkatan 
keselamatan dan kesehatan kerja, pula dalam pemberian pertolongan 
pertama pada kecelakaan. 
(4) Pengurus diwajibkan memenuhi dan merltaati semua syarat-syarat 
dan  ketentuan  - ketentuan  yang  berlaku  bagi  usaha dan  tempat 
kerja yang dijalankan. 

BAB  VI 
PANITIA PEMBINA KESELAMATAN DAN 
KESEHATAN KERJA 
Pasal  10 
(I) Menteri  Tenaga  Kerja  berwenang membentuk  Panitia  Pembina 
Keselamatan dan Kesehatan Ketja guna memperkembangkan kerja 
sarna, saling pengertian dan partisipasi efektif daripengusaha atau 
pen gurus  dan  tenaga  kerja  dalam  tempat-tempat  kerja  untuk 
melaksanakan tugas kewajiban bersama di bidang keselamatan dan 
kesehatan kerja, dalam rangka melancarkan usaha berproduksi. 
(2) Susunan Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja, tugas 
dan lain-Iainnya ditetapkan oleh Menteri Tenaga Kerja. BAB  VII 
KECELAKAAN 
Pasalll 
(1) Pen gurus diwajibkan melaporkan tiap kecelakaan yang tetjadi dalam 
tempat ketja yang dipimpinnya pada pejabat yang ditunjuk oleh 
Menteri Tenaga Kerja. 
(2) Tata  cara  pelaporan  dan  pemeriksaan  kecelakaan  oleh  pegawai 
tennaksud dalam ayat (I) diatur dengan peraturan perundangan. 
BAB  VIII 

KEWAJIBAN DAN HAK TENAGA KERJA 

Pasal12 
Dengan Peraturan Perundangan diatur kewajiban dan atau hak tenaga 
kerja untuk : 
a. memberikan  keterangan  yang  benar  bila  diminta  oleh  pegawai 
pengawas dan atau ahli keselamatan kerja. 
b. memakai alat-alat perlindungan diri yang diwajibkan. 
c. memenuhi  dan  mentaati  syarat-syarat  keselamatan  kerja  dan 
kesehatan kerja yang diwajibkan. 
d. meminta  pada  pengurus  agar  dilaksanakan  semua syarat  ke­
selamatan dan kesehatan kerja yang diwajibkan. 
e. menyatakan  keberatan bekerja pada  pekerjaan  dimana syarat 
keselamatan dan kesehatan kerja serta alat - alat perlindungan diri 
yang diwajibkan diragukan olehnya kecuali dalam hal-hal khusus 
ditentukan  lain  oleh  pegawai  pengawas  dalam  batas-batas  yang 
masih dipertanggungjawabkan. BAB  IX 

KEWAJIBAN BILA MEMASUKI TEMPAT KERJA 

Pasal  I3 
Barang siapa akan memasuki suatu tempat  kerja. diwajibkan mentaati 
semua petunjuk keselamatan kerja dan memakai alat-alal perlindungan 
diri yang diwajihkan. 

BAB  X 
KEWAJIBAN PENGURUS 
Pasal 14 
Pengurus diwajibkan : 
a. Secara tertulis menempatkan dalam tempat kcrja yang dipimpinnya, 
semua syarat-syarat  kcselamatan  kcrja  yang  diwajibkan, sehelai 
Undang-undang  ini  dan  semua  peraturan  pelaksanaanya  yang 
bcrlaku bagi tempat kerja yang bersangkutan, pada tempat-tcmpat 
yang  mudah  dilihat  dan  terbaca  dan  menurut  petunjuk  pegawai 
pengawas atau ahli keselamatan kcrja. 
b. Memasang dalam tempat kerja yang dipimpinnya semua gambar 
keselamatan  kerja yang diwajibkan dan semua bahan  pembinaan 
lainnya. pad a tcmpat-tempat yang mudah dilihat dan terbaca mcnurut 
petunjuk pegawai pengawas atau ahli kesclamatan kcrja. 
c. Menyediakan secara cuma-cuma. semua alat perlindungan diri yang 
diwajibkan  pad a tenaga kerja berada di  bawah pimpinannya dan 
menyediakan bagi setiap orang lain yang memasuki tempat  kerja 
tersebut.  disertai  dengan  petunjuk-petunjuk  yang  diperlukan 
menurut pctunjuk pegawai pengawas dan ahli keselamatan kerja. BAB  XI 

KETENTUAN·KETENTUANPENUTUP 

Pasal  15 
(1) Pelaksanaan ketentuan tersebut pada pasal-pasal di atas diatur lebih 
lanjut dengan peraturan perundangan. 
(2) Peraturan Perundangan tersebut pada ayat (1) dapat memberikan 
ancaman pidana atas pelanggaran peraturannya dengan hukuman 
kurungan  selama-lamanya  3  (tiga)  bulan  atau  denda setinggi­
tingginya Rp.  100.000,- (seratus ribu rupiah). 
(3) Tindak pidana tersebut adalah pelanggaran. 
Pasal  16 
Pengusaha yang mempergunakan tempat-tempat kerja yang sudah ada 
pada waktu Undang-undang ini mulai berlaku wajib mengusahakan di 
dalam satu  tahun  sesudah  Undang-undang  ini  mulai  berlaku,  untuk 
memenuhi  ketentuan-ketentuan  menurut  atau  berdasarkan  Undang­
undangini. 
Pasal  17 
Selama Peraturan perundangan untuk melaksanakan ketentuan dalam 
Undang-undang ini belum dikeluarkan, maka peraturan dalam bidang 
keselamatan  kerja  yang  ada  pada  waktu  Undang-undang  ini  mulai 
berlaku, tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang­
undangini. Pasal  18 
Undang-undang ini disebut "UNDANG-UNDANG KESELAMATAN 
KERJA" dan mulai berlaku pad a hari diundangkan. Agar supaya setiap 
orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang­
undang ini  dengan  penempatan  dalam  Lembaran  Negara  Republik 
Indonesia. 
Diundangkan di Jakarta  Disahkan di Jakarta 
Pada tanggal  12 Januari  1970  Pada tanggal  12 Januari  1970 
Sekretaris Negara R.I  PRESIDEN  REPUBLIK  INDONESIA 
ALAMSYAH  SOEHARTO 

Mayor Jenderal TNI  Jenderal TNI 
PENJELASAN ATAS 

UNDANG-UNDANG NO.1 TAHUN  1970 

Tentang 

KESELAMATAN KERJA 

PENJELASAN UMUM 
Velligheldsreglement yang ada sekarang dan berlaku mulai  1970 (stb1. 
No. 406) dan semenjak itu disana sini mengalami peru bah an mengenai 
soal-soal yang tidak begitu berarti, ternyata dalam hal sudah terbelakang 
dan  perlu  diperbaharui  sesuai  dengan  perkembangan  peraturan 
perlindungan tenaga kerja lainnya, dan perkembangan serta kemajuan 
teknik, teknologi dan industrialisasi di negara kita dewasa ini dan untuk 
selanjutnya. 
Mesin-mesin. alat-alat, pesawat-pesawat baru dan sebagainya yang serba 
pelik ban yak dipakai sekarang ini. bahan-bahan teknis baru banyak diolah 
dan  dipergunakan. sedangkan  mekanisasi  dan  elektrifikasi  diperluas 
dimana-mana. 
Dengan majunya industrialisasi. mekanisasi. elektrifikasi dan modemisasi 
maka dalam kebanyakan hal berlangsung pulalah peningkatan intensitas 
kerja operasionil dan tempo kerja para pekerja. 
Hal-hal ini memerlukan pengerahan tenaga secara intensif pula dari para 
pekerja. Kelelahan.  kurang  perhatian  akan  hal-hal  lain.  kehilangan. 
keseimbangan dan lain-lain merupakan akibat dari padanya dan menjadi 
sebab terjadinya kecelakaan. 
Bahan-bahan yang mengandung racun. mesin-mesin. alat-alat pesawat­
pesawat dan  sebagainya  yang serb a  pelik serta  cara-cara kerja  yang 
buruk.  kekurangan  ketrampilan  dan  latihan  kerja.  tidak  adanya 
pengetahuan ten tang sumber bahaya yang baru. senantiasa merupakan 
sumber-sumber bahaya dan penyakit-penyakit akibat kerja. 
Maka dapatlah dipahami perlu adanya pengetahuan keselamatan kerja 
dan kesehatan kerja yang maju dan tepat. Selanjutnya dengan peraturan yang maju akan dicapai keamanan yang 

baik  dan  realisasi  yang  merupakan  faktor  sangat  penting  dalam 

memherikan rasa tenteram, kegiatan dan kegairahan hekerja pad a tenaga 

kerja yang bersangkutan dan hal ini dapat mempertinggi mutu pekerjaan, 

meningkatkan produksi dan produktifitas kerja. 

Pengawasan  herdasarkan  Velligheldsreglement seluruhnya  bersifat 

represif. 

Dalam  Undang-undang  ini  diadakan  perubah an  prinsipil  dengan 

merubahnya menjadi lebih diarahkan pada sifat Preventif. 

Dalam praktek dan pengalaman dirasakan perlu adanya pengaturan yang 

haik sebelum  perusahaan-perusahaan,  pabrik-pabrik  atau  bengkel­

bengkel didirikan, karena amatlah sukar untuk meruhah atau merombak 

kembali  apa  yang  tclah  dihangun  dan  terpasang  di  dalamnya  guna 

memenuhi syarat-syarat kesclamatan kerja yang bersangkutan. 

Peraturan baru ini dihandingkan dengan yang lama, banyak mendapatkan 

perubahan-perubahan yang penting, haik dalam isi maupun bentuk dan 

sistematikanya. 

Pembaharuan dan perluasannya adalah mengenai : 

I. Perluasan ruang Iingkup. 
2. Peruhahan pengawasan represif menjadi preventif. 
3. Perumusan teknis yang lehih tegas. 
4. Penyesuaian tata usaha scbagaimana diperlukan hagi pelaksanaan 
pengawasan. 
5: Tamhahan pengaturan pcmhinaan keselamatan kerja bagi manage 
ment dan tenaga kerja. 
6. Tamhahan pengaturan pemungutan rctribusi tahunan 
PENJELASAN PASAL DEMI PASAL 
Pasall 
Ayat (I). 
Dengan perumusan ini ruang Iingkup bagi berlakunya Undang­
undang ini jelas ditentukan olch tiga unsur. 
I. Tempat dimana dilakukan pekerjaan bagi suatu usaha. 
?.1 2.  Adanya Tenaga Kerja yang bekerja disana. 
3.  Adanya bahaya kerja di  tempat ini. 
Tidak selalu Tenaga Kerja harus sehari-hari bekerja dalam suatu 
tempat kerja. Sering pula mereka untuk waktu-waktu tertentu 
harus memasuki ruangan, ruangan untuk mengontrol, menyetel, 
menjalankan instansi-instansi, setelah mana mereka keluardan 
bekerja selanjutnya dalam tempat. 
Instalasi-instalasi ini dapat merupakan sumber-sumber bahaya 
dengan demikian haruslah memenuhi syarat-syarat keselamatan 
kerja yang berlaku baginya, agar setiap orang termasuk tenaga 
kerja yang memasukinya dan atau mengerjakan sesuatu di sana, 
walaupun jangka waktu pendek, terjamin keselamatannya. 
Instalasi-instalasi demikian itu misalnya rumah-rumah trans­
formasi, instalasi pompa air yang setelah dihidupkan, berjalan 
otomatis,  ruangan-ruangan  instalasi  radio,  Iistrik  tegangan 
tinggi dan sebagainya. 
Sumber bahaya adakalanya mempunyai daerah pengaruh yang 
meluas.  Dengan  ketentuan  dalam  ayat  ini  praktis  daerah 
pengaruh ini tercakup dan dapatlah diambil tindakan-tindakan 
penyelamatan  yang  diperlukan.  Hal  ini  sekaligus menjamin 
kepentingan umum. 
Misalnya suatu pabrik dimana diolah bahan - bahan kimia yang 
berbahaya  dan  dipakai  serta  dibuang  banyak  air  yang 
mengandung zat-zat yang berbahaya. Bila air buangan demikian 
itu dialirkan atau dibuang begitu saja ke dalam sungai maka air 
sungai  itu  menjadi  berbahaya  akan  dapat  mengganggu 
kesehatan  manusia,  ternak,  ikan  dan  per-tumbuhan  tanam­
tanaman. 
Karena  itu  untuk  air  buangan  itu  harus  diadakan 
penampungannya  tersendiri  atau  dikerjakan  pengolahan 
terdahulu, dimana zat-zat kimia didalamnya dihilangkan atau 
dinetralisir,  sehingga  arus  tidak  berbahaya  lagi  dan  dapat 
dialirkan ke dalam sungai. Dalam  pelaksanaan  Undang-undang  ini  dipakai  pengertian 
ten tang  bahaya  kerja sebagaimana  dimuat  dalam  Undang­
undang tentang ketentuan-ketentuan Pokok Mengenai Tenaga 
Kerja maka dipandang tidak perlu lagi dimuat definisi itu dalam 
Undang-undang ini. 
Usaha-usaha yang dimaksud dalam Undang-undang ini tidak 
harus selalu mempunyai motif ekonomi atau motifkeuntungan, 
tapi dapat merupakan usaha-usaha sosial seperti perbengkelan 
di sekolah~sekolah teknik, usaha rekreasi dan di rumah-rumah 
sakit, dimana dipergunakan instalasi-instalasi listrik dan atau 
mekanik yang berbahaya. 
Ayat (2) 
Cukupjelas 
Ayat (3) 
CUkupjelas 
Ayat (4) 
Cukupjelas 
Ayat (5) 
Cukupjelas 
Ayat (6) 
Guna pelaksanaan Undang-undang ini diperlukan pengawasan 
dan untuk ini diperlukan staf-staf tenaga-tenaga pengawasan 
yang Quantitatief cukup besar serta bermutu. 
Tidak saja diperlukan keahlian dan pengawasan teoritis bidang­
bidang spesialisasi yang beraneka ragam, tapi mereka harus 
pula mempunyai banyak pengalaman di bidangnya. 
Staf demikian  itu  tidak  didapatkan  dan  sukar dihasilkan  di 
Departemen Tenaga Kerja saja. Karena itu dengan ketentuan 
dalam ayat ini Menteri Tenaga Kerja dapat menunjuk tenaga­
tenaga  ahli  dimaksud  yang  berada  di  Instansi-instansi 
P~merintah dan atau swasta untuk dapat memformer personalia 
operasional yang tepat. Pasal2 
Ayat (1) 
Ayat (2) 
Ayat (3) 
Maka  dengan  demikian  Menteri  Tenaga  Kerja  dapat  men­
desentralisasi pe1aksanaan pengawasan atas ditaatinya Undang­
undang ini secara meluas, sedangkan Policy Nasionalnya tetap 
menjadi tanggungjawabnya dan berada ditangannya, sehingga 
terjamin pelaksanaannya secara seragam dan serasi bagi seluruh 
Indonesia. 
Menteri  yang  diatur  dalam  Undang-undang  ini  mengikuti 
perkembangan  masyarakat  dan  kemajuan  teknik,  teknologi 
serta senantiasa akan dapat sesuai dengan perkembangan proses 
industrialisasi  Negara  kita  dalam  rangka  Pembangunan 
Nasional. 
Selanjutnya akan dikeluarkan peraturan-peraturan organiknya, 
terbagi baik atas dasar pembidangan teknis maupun atas dasar 
pembidangan industri secara sektoral. Setelah Undang-undang 
ini, diadakan Peraturan-peraturan perundangan Keselamatan 
Kerja  bidang  listrik,  Uap,  Radiasi,  dan  sebagainya  pula 
peraturan  perundangan  Keselamatan  Kerja sektoral,  baik  di 
darat, di  laut maupun di  udara. 
Dalam ayat ini diperinci sumber bahaya yang dikenal dewasa 
ini yang bertalian dengan : 
I. Keadaan  mesin-mesin,  pesawat-pesawat,  alat-alat kerja 
serta peralatan lainnya, bahan-bahan dan sebagainya. 
2. Lingkungan 
3. Sifat pekerjaan 
4. Cara kerja 
5. Proses produksi 
Dengan  ketentuan  dalam  ayat  ini  dimungkinkan  diadakan 
peruhahan-perubahan  atas  perincian  yang  dimaksud sesuai 
dengan  pendapatan-pendapatan  baru  kelak  kemudian  hari, 
sehingga  Undang-undang  ini  dalam  pelaksanaan  tetap 
berkembang. Pasal3 
Ayat (I) 
Dalam ayat ini dicantumkan dan sasaran-sasaran secara konkrit 
yang harus dipenuhi oleh syarat-syarat Keselama-tan Kerja yang 
akan dikeluarkan. 
Ayat (2) 
Cukup jelas. 
Pasal4 
Ayat (I) 
Syarat-syarat  Kesclamatan  Kcrja  yang  mcnyangkut 
perencanaan  dan  pembuatan,  diberikan  pertama-tama  pada 
perusahaan  pemhuat  atau  produsen  dari  barang-barang 
tcrsebut, schingga kclak dalam pengangkutan dan sebagainya 
itu barang-barang itu scndiri. tidak berbahaya bagi tenaga kerja 
yang bersangkutan dan bagi umum, kcmudian pada pcrusahaan­
perusahaan yang mem-pcrlakukannya selanjutnya yakni yang 
mengangkutnya, yang mcngadakannya, mempcrdagangkannya, 
memasangnya,  mcmakainya.  at au  mempergunakannya, 
memclihara. dan mcnyimpannya. Syarat-syarat terse but di atas 
hcrlaku  pada  bagi  orang-orang  yang  didatangkan  dari  luar 
ncgcn. 
Ayat (2) 
Dalam ayat ini ditetapkan secara konkrit ketcntuan-kctcntuan 
yang harus dipenuhi oleh syarat-syarat yang dimaksud. 
Ayat (3) 
Cukup jclas. 
Pasal5 
Cukup jelas. 
Pasal6 
Panitia Banding ialah Panitia Teknis yang anggota-anggotanya terdiri 
dari ahli-ahli dalam bidang yang diperlukan. 
Pasal7 
Cukup jelas. Pasal8 
Cukup jelas. 
Pasal9 
Cukup jelas. 
PasallO 
Cukup jelas. 
Ayat (I) 
Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja bertugas 
memberi pertimbangan dan dapat membantu pelaksanaan  usaha 
pencegahan kecelakaan dalam perusahaan yang bersangkutan 
serta  dapat  memberikan  dan  penerangan  efcktif pada  para 
pekerja yang bersangkutan. 
Ayat (2) 
Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja merupakan 
suatu  Badan  yang  terdiri  dari  unSUT-unsUT  penerima  kerja, 
pemberi kerja dan Pemerintah (tripartit). 
Pasalll 
Cukup je\as. 
Pasal12 
Cukup jelas. 

Yang  dimaksud  dengan  barang  siapa  ialah  setiap  orang  baik  yang 

bersangkutan maupun tidak bcrsangkutan dengan pekerjaan di  tempat 

kerja. 

Pasal13 
Cukup jelas. 
Pasal14 
Cukup jelas. 
Pasal15 
Cukup jelas. 
Pasal16 
Cukup jelas. Pasal17 
Peraturan-peraturan Keselamatan  Kerja  yang ditetapkan  berdasarkan 
Velligheldsreglement 1910 dianggap ditetapkan berdasarkan Undang­
undang ini sepanjang tidak bertentangan dengannya. 
Pasal18 
Cukup jelas. 
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1918. 

Selasa, 06 November 2012

Makalah Manajemen Pelayanan Publik di Bidang Kesehatan Kerja

BAB I
PENDAHULUAN

ALATAR BELAKANG.     
Di era globalisasi tahun 2020 mendatang, kesehatan  kerja merupakan salah satu prasyarat yang ditetapkan dalam hubungan ekonomi perdagangan barang dan jasa antar negara yang harus dipenuhi oleh seluruh negara anggotanya, termasuk bangsa Indonesia. Untuk mengantisipasi hal tersebut serta mewujudkan perlindungan masyarakat pekerja Indonesia telah ditetapkan Visi Indonesia Sehat 2015 yaitu gambaran masyarakat Indonesia di masa depan, yang penduduknya hidup dalam lingkungan dan perilaku sehat, memperoleh pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata, serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.
Pelaksanaan kesehatan kerja  merupakan salah satu bentuk upaya untuk menciptakan tempat atau lingkungan kerja yang aman, sehat, bebas dari pencemaran lingkungan, sehingga dapat mengurangi atau terbebas dari kejadian kecelakaan  kerja  dan penyakit akibat  kerja  yang pada akhirnya dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas  kerja suatu perusahaan atau tempatkerja.
Kesehatan memegang posisi sentral, karena tanpa kesehatan tidak mungkin seseorang dapat meningkatkan produktifitas. Dalam menghadapi era globalisasi saat ini, dibutuhkan sumber daya manusia yang berkualitas sehingga dapat bersaing dan dapat meningkatkan tingkat produktifitas dan efisiensi pada suatu perusahaan.  karena itu, pentingnya menjaga dan meningkatkan kesehatan tenaga kerja yang setinggi-tingginya di perusahaan.
Penanganan kesehatan kerja merupakan bagian dari perlindungan tenaga kerja guna memelihara dan meningkatkan kesehatan tenaga kerja untuk mendapatkan derajat kesehatan seoptimal mungkin, baik fisik, mental maupun sosial. Setiap perusahaan wajib memeriksakan kesehatan tenaga kerjanya (Medical Check Up) sesuai dengan Undang-Undang Nomor : 01 Tahun 1970, Pasal 8.
Pemeriksaan Kesehatan tenaga kerja dalam penyelenggaraan keselamatan kerja ada 3 pemeriksaan yaitu pemeriksaan kesehatan sebelum bekerja, pemeriksaan kesehatan berkala dan pemeriksaan kesehatan khusus, yang dilakukan oleh dokter yang telah mempunyai sertifikasi hiperkes.
UPTD Balai Hiperkes dan Keselamatan Kerja merupakan Unit Pelaksana Teknis Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Sumatera Selatan yang berfungsi melakukan kegiatan pengujian dan pembinaan terhadap perusahaan dan tenaga kerja di bidang Higiene Perusahaan Kesehatan dan Keselamatan Kerja, terutama pada pemeriksaan kesehatan tenaga kerja.
Pelayanan publik dewasa ini telah menjadi isu yang semakin strategis, karena kualitas kinerja birokrasi pelayanan publik memiliki implikasi yang luas dalam kehidupan ekonomi dan politik.
Dalam kehidupan ekonomi, perbaikan kinerja birokrasi akan bisa memperbaiki iklim ekonomi yang amat diperlukan oleh bangsa Indonesia untuk bisa keluar dari krisis ekonomi yang berkepanjangan. Kinerja birokrasi pelayanan publik di Indonesia yang sering mendapat sorotan dari masyarakat menjadi  faktor penentu yang penting dari penurunan minat investasi.
Dalam kehidupan politik, perbaikan kinerja birokrasi pelayanan publik akan mempunyai implikasi luas, terutama dalam tingkat kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Kurang baiknya kinerja birokrasi menjadi salah satu faktor penting yang mendorong munculnya krisis kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Dengan adanya perbaikan kinerja pelayanan publik diharapkan mampu memperbaiki kembali citra pemerintah di mata masyarakat, karena dengan kualitas pelayanan yang semakin baik, kepuasan dan kepercayaan masyarakat bisa dibangun kembali sehingga pemerintah bisa meningkatkan legitimasi yang lebih kuat di mata publik.
Kondisi pelayanan yang dilaksanakan pemerintah dalam berbagai jenis pelayanan masih dianggap belum sesuai harapan masyarakat. Hal ini dapat kita lihat dari adanya berbagai pengaduan maupun keluhan, baik yang disampaikan langsung kepada institusi unit pelayanan maupun melalui media cetak ataupun elektronika. Di sisi lain, masyarakat sendiripun belum memberikan kontrol yang efektif untuk mendorong peningkatan pelayanan publik.
Oleh sebab itu, untuk lebih meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah, upaya-upaya peningkatan pelayanan publik terus ditingkatkan melalui berbagai pembenahan yang menyeluruh baik dari aspek kelembagaan, kepegawaian, tatalaksana dan akuntabilitas. Diharapkan, hal ini dapat menghasilkan pelayanan yang prima yaitu pelayanan yang cepat, tepat, murah, aman, berkeadilan dan akuntabel.
Berpedoman kepada Peraturan Gubernur Provinsi Sumatera Selatan Nomor : 04 Tahun 2009, Standar Pelayanan Publik di bidang Higiene Perusahaan Kesehatan dan Keselamatan Kerja disusun untuk menjadi acuan atau pedoman kerja dalam rangka memberikan layanan yang profesional, efektif dan memuaskan bagi masyarakat industri yang membutuhkan. Dengan adanya pedoman ini diharapkan masyarakat industri memiliki pemahaman yang lebih baik mengenai prosedur dan mekanisme yang harus ditaati dalam rangka mendapatkan layanan.

B. RUMUSAN MASALAH.
Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalahnya, yaitu:
1.      Apakah yang dimaksud dengan  kesehatan kerja?
2.      Bagaimana kapasitas kerja, lingkungan kerja, dan beban kerja?
3.      Bagaimanakah strategi kesehatan kerja?
4.      Jenis-jenis pelayanan kesehatan kerja apa saja yang ada di UPTD Balai Hiperkes dan Keselamatan Kerja Provinsi Sumatera Selatan?

C. TUJUAN :
1.      Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan kesehatan kerja.
2.      Dapat membedakan antara kapasitas kerja, lingkungan kerja, dan beban kerja.
3.      Dapat mengetahui apa yang menjadi strategi kesehatan kerja.
4.      Dapat mengetahui  jenis-jenis pelayanan kesehatan kerja di UPTD Balai Hiperkes dan Keselamatan Kerja Provinsi Sumatera Selatan.






BAB II
TEORI PELAYANAN PUBLIK

2.1 Definisi Pelayanan Publik.
Pelayanan publik atau pelayanan umum adalah segala bentuk jasa pelayanan, baik dalam bentuk barang publik maupun jasa publik yang pada prinsipnya menjadi tanggung jawab dan dilaksanakan oleh Instansi Pemerintah di pusat, di daerah, dan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah, dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pelayanan publik oleh birokrasi publik merupakan salah satu perwujudan dari fungsi aparatur negara sebagai abdi masyarakat di samping sebagai abdi negara untuk mensejahterakan masyarakat (warga negara). Apalagi saat ini masyarakat semakin sadar apa yang menjadi hak dan kewajibannya sebagai warga negara dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Masyarakat semakin berani untuk mengontrol apa yang dilakukan pemerintahannya.
Berdasarkan organisasi yang menyelenggarakannya, pelayanan publik dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu:
1.      Pelayanan publik yang diselenggarakan oleh organisasi privat, adalah semua penyediaan barang atau jasa publik yang diselenggarakan oleh swasta, seperti misalnya rumah sakit swasta, PTS, maupun perusahaan.
2.      Pelayanan publik yang diselenggarakan oleh organisasi publik yang bersifat primer adalah semua penyediaan barang/jasa publik yang diselenggarakan oleh pemerintah dan pemerintah merupakan satu-satunya penyelenggara sehingga klien/pengguna mau tidak mau harus memanfaatkannya. Misalnya adalah pelayanan di kantor imigrasi, pelayanan penjara dan pelayanan perizinan.
3.      Pelayanan publik yang diselenggarakan oleh organisasi publik yang bersifat sekunder adalah segala bentuk penyediaan barang/jasa publik yang diselenggarakan oleh pemerintah, tetapi yang di dalamnya pengguna/klien tidak harus mempergunakannya karena adanya beberapa penyelenggara pelayanan.
Terdapat beberapa karakteristik yang dapat dipakai untuk membedakan ketiga jenis penyelenggara pelayanan publik tersebut, yaitu:
  1. Adaptabilitas layanan. Artinya derajat perubahan layanan sesuai dengan tuntutan perubahan yang diminta oleh pengguna.
  2. Posisi tawar pengguna/klien Semakin tinggi posisi tawar pengguna/klien, maka akan semakin tinggi pula peluang pengguna untuk meminta pelayanan yang lebih baik.
  3. Tipe Pasar Menggambarkan jumlah penyelenggara pelayanan yang ada dan hubungannya dengan penggguna/klien.
  4. Kontrol Karakteristik ini menjelaskan siapa yang memegang kontrol atas transaksi, apakah pengguna atau penyelenggara pelayanan.
  5. Sifat pelayanan Menunjukkan kepentingan pengguna atau penyelenggara pelayanan yang lebih dominan.
Oleh sebab itu, pelayanan publik harus dilakukan secara profesional sehingga mampu menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat mengembangkan kemampuan dan kreatifitasnya untuk mengatur dan menentukan masa depannya sendiri.
Pelayanan publik yang profesional artinya pelayanan publik yang dicirikan oleh adanya akuntabilitas dan responsibilitas dari pemberi layanan (aparatur pemerintah) dengan ciri sebagai berikut :
1.      Efektif : lebih mengutamakan pada pencapaian apa yang menjadi tujuan dan sasaran.
2.      Sederhana : prosedur/tata cara pelayanan diselenggarakan secara mudah, cepat, tepat, dan tidak berbelit-belit.
3.      Transparan : adanya kejelasan dan kepastian mengenai prosedur, persyaratan, dan pejabat yang bertanggung jawab terhadap pelayanan publik tersebut.
4.      Efisiensi : persyaratan pelayanan hanya dibatasi pada hal-hal yang berkaitan langsung dengan pencapaian sasaran pelayanan dengan tetap memperhatikan keterpaduan antara persyaratan dengan produk pelayanan yang berkaitan.
5.      Keterbukaan : berarti prosedur/tatacara persyaratan, satuan kerja/pejabat penanggung jawab pemberi pelayanan, waktu penyelesaian, rincian waktu/tarif serta hal-hal lain yang berkaitan dengan proses pelayanan wajib di informasikan secara terbuka agar mudah diketahui dan dipahami oleh masyarakat, baik diminta maupun tidak.
6.      Ketepatan waktu : kriteria ini mengandung arti pelaksanaan pelayanan masyarakat dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan.
7.      Responsif : lebih mengarah pada daya tanggap dan cepat menanggapi apa yang menjadi masalah, kebutuhan dalam aspirasi masyarakat yang dilayani.
8.      Adaptif adalah cepat menyesuaikan terhadap apa yang menjadi tuntutan, keinginan dan aspirasi masyarakat yang dilayani yang senantiasa mengalami tumbuh kembang.
Cara-cara yang diperlukan untuk memberikan pelayanan publik yang profesional adalah sebagai berikut:
1.      Menentukan pelayanan publik yang disediakan, apa saja macamnya,
2.      Memperlakukan pengguna pelayanan sebagai customers,
3.      Berusaha memuaskan pengguna pelayanan sesuai dengan yang diinginkan mereka, 4. Mencari cara penyampaian pelayanan yang paling baik dan berkualitas,
4.      Menyediakan alternatif bila pengguna pelayanan tidak memiliki pilihan lain.

2.2 Etika Pelayanan Publik.
Etika pelayanan publik merupakan suatu cara dalam melayani publik dengan menggunakan kebiasaan-kebiasaan yang mengandung nilai-nilai hidup dan hukum atau norma-norma yang mengatur tingkah laku manusia yang dianggap baik. Atau dengan kata lain penggunaan atau penerapan standar-standar etika yang telah ada sebagai tanggung jawab aparatur birokrasi pemerintahan dalam menyelenggarakan pelayanan bagi kepentingan publik.
Fokus utama dalam etika pelayanan publik adalah apakah aparatur pelayanan publik telah mengambil keputusan dan berperilaku yang dapat dibenarkan dari sudut pandang etika (agar manusia mencapai kehidupan yang baik). Apabila dikaitkan dengan birokrasi maka etika birokrasi merupakan panduan norma bagi aparat birokrasi dalam menjalankan tugas pelayanan pada masyarakat. Etika birokrasi harus menempatkan kepentingan publik di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan organisasinya. Etika harus diarahkan pada pilihan-pilihan kebijakan yang benar-benar mengutamakan kepentingan masyarakat luas.
Hal-hal yang perlu dilakukan untuk mewujudkan integritas dalam pelayanan publik adalah sebagai berikut:
1.      Perilaku pelayan publik (Pegawai Negeri) harus sejalan dengan misi pelayanan publik dari instansi tempat mengabdi.
2.      Pelaksanaan pelayanan publik dapat diandalkan.
3.      Warga Negara memperoleh perlakuan “tanpa pandang bulu” sesuai dengan ketentuan hukum dan keadilan.
4.      Sumber daya digunakan secara tepat, efisien, dan efektif.
5.      Prosedur pengambilan keputusan adalah transparan bagi publik, dan tersedia sarana bagi publik untuk melakukan penyelidikan dan pemberian tanggapan.
Ada dua aspek penting penentu/tuntutan kinerja prima yaitu :
  1. Keunggulan teknis (profesionalisme) yaitu efisiensi, produktivitas, dan efektifitas.
  2. Keunggulan moral (etika) yaitu integritas, obyektifitas, atau imparsialitas, keadilan, kejujuran, dan sebagainya.
Dimensi etika dimasukkan dalam pertimbangan atau keputusan pelayanan publik, karena pelayanan publik ditujukan untuk kebaikan masyarakat, bangsa, dan Negara. Etika digunakan sebagai panduan dalam pengambilan keputusan dan sebagai criteria untuk menilai baik-buruknya keputusan. Selain itu, hubungan etika dan pelayanan publik tercermin dalam kenyataan bahwa warga negara telah mempercayakan sumber daya publik kepada birokrasi (sebagai pengelola sumber daya dan penjaga kepercayaan yang diamanatkan oleh warga negara).

2.3    Masalah Pelayanan Publik.
Masalah utama pelayanan publik sebenarnya adalah peningkatan kualitas pelayanan publik itu sendiri. Pelayanan publik yang berkualitas dipengaruhi oleh berbagai aspek, yaitu bagaimana pola penyelenggaraannya,sumber daya manusia yang mendukung,dan kelembagaan.
Beberapa kelemahan pelayanan publik berkaitan dengan pola penyelenggaraannya antara lain sebagai berikut:
1.      Sukar Diakses. Unit pelaksana pelayanan publik terletak sangat jauh dari jangkauan masyarakat, sehingga mempersulit mereka yang memerlukan pelayanan publik tersebut.
2.      Belum informatif. Informasi yang disampaikan kepada masyarakat cenderung lambat atau bahkan tidak diterima oleh masyarakat.
3.      Belum bersedia mendengar keluhan/saran/aspirasi masyarakat. Biasanya aparat pelayanan publik belum bersedia mendengar keluhan/saran/ aspirasi dari masyarakat. Sehingga, pelayanan publik dilaksanakan semau sendiri dan sekedarnya, tanpa ada perbaikan dari waktu ke waktu.
4.      Belum responsif. Hal ini terjadi pada hampir semua tingkatan unsur pelayanan publik, mulai pada tingkatan petugas pelayanan (front line) sampai dengan tingkatan penanggungjawab instansi. Tanggapan terhadap berbagai keluhan, aspirasi, maupun harapan masyarakat seringkali lambat atau bahkan tidak dihiraukan sama sekali.
5.      Belum saling berkoordinasi. Setiap unit pelayanan yang berhubungan satu dengan lainnya belum saling berkoordinasi. Dampaknya, sering terjadi tumpang tindih ataupun pertentangan kebijakan antara satu instansi pelayanan dengan instansi pelayanan lain yang terkait.
6.      Tidak Efisien. Berbagai persyaratan yang diperlukan (khususnya dalam pelayanan perijinan) seringkali tidak ada hubungannya dengan pelayanan yang diberikan.
7.      Birokrasi yang bertele-tele. Pelayanan (khususnya pelayanan perijinan) pada umumnya dilakukan melalui proses yang terdiri dari berbagai tingkatan, sehingga menyebabkan penyelesaian pelayanan yang terlalu lama.
Dalam kaitan dengan penyelesaian masalah pelayanan, kemungkinan staf pelayanan (front line staff) untuk dapat menyelesaikan masalah sangat kecil, dan di lain pihak kemungkinan masyarakat untuk bertemu dengan penanggungjawab pelayanan, dalam rangka menyelesaikan masalah yang terjadi ketika pelayanan diberikan, juga sangat sulit. Akibatnya, berbagai masalah pelayanan memerlukan waktu yang lama untuk diselesaikan.
Berkaitan dengan sumber daya manusia, kelemahan utamanya adalah berkaitan dengan profesionalisme, kompetensi, empati dan etika. Berbagai pandangan juga setuju bahwa salah satu dari unsur yang perlu dipertimbangkan adalah masalah sistem kompensasi yang tepat. Berkaitan dengan kelembagaan, kelemahan utama terletak pada desain organisasi yang tidak dirancang khusus dalam rangka pemberian pelayanan kepada masyarakat, penuh dengan hirarki yang membuat pelayanan menjadi berbelit-belit (birokratis), dan tidak terkoordinasi.
Kecenderungan untuk melaksanakan dua fungsi sekaligus, fungsi pengaturan dan fungsi penyelenggaraan, masih sangat kental dilakukan oleh pemerintah, yang juga menyebabkan pelayanan publik menjadi tidak efisien.

2.4    Solusi Masalah Pelayanan Publik.
Tuntutan masyarakat saat ini terhadap pelayanan publik yang berkualitas akan semakin menguat. Oleh karena itu, kredibilitas pemerintah sangat ditentukan oleh kemampuannya mengatasi berbagai permasalahan yang telah disebutkan di atas sehingga mampu menyediakan pelayanan publik yang memuaskan masyarakat sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya.
Dari sisi mikro, hal-hal yang dapat diajukan untuk mengatasi masalah-masalah tersebut antara lain adalah sebagai berikut:
1.      Penetapan Standar Pelayanan.
 Standar pelayanan memiliki arti yang sangat penting dalam pelayanan publik. Standar pelayanan merupakan suatu komitmen penyelenggara pelayanan untuk menyediakan pelayanan dengan suatu kualitas tertentu yang ditentukan atas dasar perpaduan harapan-harapan masyarakat dan kemampuan penyelenggara pelayanan. Penetapan standar pelayanan yang dilakukan melalui proses identifikasi jenis pelayanan, identifikasi pelanggan, identifikasi harapan pelanggan, perumusan visi dan misi pelayanan, analisis proses dan prosedur, sarana dan prasarana, waktu dan biaya pelayanan. Proses ini tidak hanya akan memberikan informasi mengenai standar pelayanan yang harus ditetapkan, tetapi juga informasi mengenai kelembagaan yang mampu mendukung terselenggaranya proses manajemen yang menghasilkan pelayanan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Informasi lain yang juga dihasilkan adalah informasi mengenai kuantitas dan kompetensi-kompetensi sumber daya manusia yang dibutuhkan serta distribusinya beban tugas pelayanan yang akan ditanganinya.
2.      Pengembangan Standard Operating Procedures (SOP).
 Untuk memastikan bahwa proses pelayanan dapat berjalan secara konsisten diperlukan adanya Standard Operating Procedures. Dengan adanya SOP, maka proses pengolahan yang dilakukan secara internal dalam unit pelayanan dapat berjalan sesuai dengan acuan yang jelas, sehingga dapat berjalan secara konsisten.
Disamping itu SOP juga bermanfaat dalam hal:
a.       Untuk memastikan bahwa proses dapat berjalan uninterupted. Jika terjadi hal-hal tertentu, misalkan petugas yang diberi tugas menangani satu proses tertentu berhalangan hadir, maka petugas lain dapat menggantikannya.Oleh karena itu proses pelayanan dapat berjalan terus;
b.      Untuk memastikan bahwa pelayanan perijinan dapat berjalan sesuai dengan peraturan yang berlaku;
c.       Memberikan informasi yang akurat ketika dilakukan penelusuran terhadap kesalahan prosedur jika terjadi penyimpangan dalam pelayanan; • Memberikan informasi yang akurat ketika akan dilakukan perubahan-perubahan tertentu dalam prosedur pelayanan;
d.      Memberikan informasi yang akurat dalam rangka pengendalian pelayanan;
e.       Memberikan informasi yang jelas mengenai tugas dan kewenangan yang akan diserahkan kepada petugas tertentu yang akan menangani satu proses pelayanan tertentu. Atau dengan kata lain, bahwa semua petugas yang terlibat dalam proses pelayanan memiliki uraian tugas dan tangungjawab yang jelas;
3.      Pengembangan Survei Kepuasan Pelanggan.
Untuk menjaga kepuasan masyarakat, maka perlu dikembangkan suatu mekanisme penilaian kepuasan masyarakat atas pelayanan yang telah diberikan oleh penyelenggara pelayanan publik. Dalam konsep manajemen pelayanan, kepuasan pelanggan dapat dicapai apabila produk pelayanan yang diberikan oleh penyedia pelayanan memenuhi kualitas yang diharapkan masyarakat. Oleh karena itu, survei kepuasan pelanggan memiliki arti penting dalam upaya peningkatan pelayanan publik.
4.      Pengembangan Sistem Pengelolaan Pengaduan Pengaduan masyarakat merupakan satu sumber informasi bagi upaya-upaya pihak penyelenggara pelayanan untuk secara konsisten menjaga pelayanan yang dihasilkannya sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Oleh karena itu perlu didisain suatu sistem pengelolaan pengaduan yang secara efektif dan efisien mampu mengolah berbagai pengaduan masyarakat menjadi bahan masukan bagi perbaikan kualitas pelayanan; Sedangkan dari sisi makro, peningkatan kualitas pelayanan publik dapat dilakukan melalui pengembangan model-model pelayanan publik.
Dalam hal-hal tertentu, memang terdapat pelayanan publik yang pengelolaannya dapat dilakukan secara private untuk menghasilkan kualitas yang baik. Beberapa model yang sudah banyak diperkenalkan antara lain: contracting out, dalam hal ini pelayanan publik dilaksanakan oleh swasta melalui suatu proses lelang, pemerintah memegang peran sebagai pengatur; franchising, dalam hal ini pemerintah menunjuk pihak swasta untuk dapat menyediakan pelayanan publik tertentu yang diikuti dengan price regularity untuk mengatur harga maksimum.
Dalam banyak hal pemerintah juga dapat melakukan privatisasi. Disamping itu, peningkatan kualitas pelayanan publik juga perlu didukung adanya restrukturisasi birokrasi, yang akan memangkas berbagai kompleksitas pelayanan publik menjadi lebih sederhana. Birokrasi yang kompleks menjadi ladang bagi tumbuhnya KKN dalam penyelenggaraan pelayanan.








BAB III
PEMBAHASAN

A.    KESEHATAN KERJA
Ilmu kesehatan kerja mendalami masalah hubungan dua arah antara pekerjaan dan kesehatan. Ilmu tidak hanya menyangkut hubungan antara efek lingkungan kerja dengan kesehatan pekerja, tetapi hubungan antara status kesehatan pekerja dengan kemampuan untuk melakukan tugas yang harus dikerjakan.
Menurut International Labor Organization ( ILO) salah satu upaya dalam menanggulangi kecelakaan dan penyakit akibat kerja di tempat kerja adalah dengan penerapan peraturan perundangan antara lain melalui :
a.       Adanya ketentuan dan syarat-ayarat K3 yang selalu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan, teknik dan teknologi ( up to date )
b.      Penerapan semua ketentuan dan persyaratan keselamatan dan kesehatan kerja sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku sejak tahap rekayasa.
c.       Pengawasan dan pemantauan pelaksanaan K3 melalui pemeriksaan-pemeriksaan langsung di tempat kerja.
ILO dan WHO (1995) menyatakan kesehatan kerja bertujuan untuk peningkatan dan pemeliharaan derajat kesehatan fisik, mental dan sosial yang setinggi-tingginya bagi pekerja disemua jenis pekerjaan, pencegahan terhadap gangguan kesehatan pekerja yang disebabkan oleh kondisi pekerjaan; perlindungan bagi pekerja dalam pekerjaannya dari risiko akibat faktor yang merugikan kesehatan dan penempatan serta pemeliharaan pekerja dalam suatu lingkungan  kerja  yang disesuaikan dengan kondisi fisiologi dan psikologisnya.
Secara ringkas merupakan penyesuaian pekerjaan kepada manusia dan setiap manusia kepada pekerjaan atau jabatannya. Selanjutnya dinyatakan bahwa fokus utama kesehatan kerja , yaitu:
1.         Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan pekerja dan kapasitas  kerja
2.         Perbaikan lingkungan  kerja  dan pekerjaan yang mendukung keselamatan dan kesehatan
3.         Pengembangan organisasi kerja dan budaya  kerja kearah yang mendukung kesehatan dan keselamatan di tempat  kerja juga meningkatkan suasana sosial yang positif dan operasi yang lancar serta meningkatkan produktivitas perusahaan.
Dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 03 Tahun 1982 disebutkan tugas pokok kesehatan kerja antara lain:
1.      Pembinaan dan pengawasan atau penyesuaian pekerjaan terhadap tenaga kerja
2.      Pembinaan dan pengawasan terhadap lingkungan  kerja
3.      Pembinaan dan pengawasan perlengkapan sanitasi
4.      Pembinaan dan pengawasan perlengkapan kesehatan kerja
5.      Memberikan nasehat mengenai perencanaan dan pembuatan tempat kerja, pemilihan alat pelindung diri yang diperlukan dan gizi serta penyelenggaraan makanan ditempat kerja
6.      Memberikan laporan berkala tentang pelayanan kesehatan kerja kepada pengurus
7.      Memberikan saran dan masukan kepada manajemen dan fungsi terkait terhadap permasalahan yang berhubungan dengan aspek kesehatan kerja.

B. KAPASITAS KERJA, BEBAN KERJA DAN LINGKUNGAN KERJA
Kapasitas kerja, beban kerja, dan lingkungan kerja merupakan tiga komponen utama dalam system kesehatan kerja. Dimana hubungan interaktif dan serasi antara ketiga komponen tersebut akan menghasilkan kesehatan kerja yang baik dan optimal. Kapasitas kerja yang baik seperti status kesehatan kerja dan gizi kerja yang baik serta kemampuan fisik yang prima diperlukan agar pekerja dapat melakukan pekerjaannya dengan baik.
Beban kerja meliputi beban kerja fisik maupun mental. Akibat beban kerja terlalu berat atau kemampuan fisik yang terlalu lemah dapat mengakibatkan seseorang pekerja menderita gangguan atau penyakit akibat kerja. Kondisi lingkungan kerja yaitu keadaan lingkungan tempat kerja pada saat bekerja, misalnya panas,debu,zat kimia dan lain-lain, dapat merupakan bebam tambahan trhadap pekerja. Beban beban tambahan tersebut secara sendiri-sendiri atau bersama sama menjadi gangguan atau penyakit akibat kerja.
Perhatian yang baik pada kesehatan kerja dan perlindungan risiko bahaya di tempat kerja menjadikan pekerja dapat lebih nyaman dalam bekerja. Dalam Undang-Undang No. 36 tahun 2009 dinyatakan bahwa kesehatan kerja diselenggarakan agar setiap pekerja dapat bekerja secara sehat tanpa membahayakan diri sendiri dan masyarakat sekelilingnya, agar diperoleh produktivitas  kerja  yang optimal sejalan dengan program perlindungan tenaga  kerja

C.    KEBIJAKAN UPAYA KESEHATAN KERJA (UKK)
Di Indonesia kebanyakan yang dilakukan dalam pelayanan upaya kesehatan kerja di tempat pelayanan kerja yaitu :
  1. UKK dilaksanakan secara paripurna, berjenjang dan terpadu.
  2. Pelayanan kesehatan kerja merupakan kegiatan integral dari pelayanan kesehatan pada kesehatan tingkat primer maupun rujukan.
  3. Pelayanan kesehatan kerja diperkuat dengan sistem informasi, surveilans & standar pelayanan sesuai dengan peraturan undang-undang dan IPTEK.
  4. Peningkatan mutu pelayanan kesehatan kerja paripurna.
  5. Promosi K3 dilaksanakan secara optimal.
  6. Peningkatan koordinasi pelaksanaan UKK pada Tingkat Nasional, Provinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan & Kelurahan/Desa.
  7. Memberdayakan Puskesmas sebagai jejaring pelayanan yang efektif dibidang kesehatan kerja pada masyarakat pekerja utamanya di sektor informal.
  8. Pengembangan wadah partisipatif kalangan pekerja informal (Pos UKK) sebagai mitra kerja PKM dalam rangka membudayakan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3)

D.  STRATEGI UPAYA KESEHATAN KERJA
  1. Pembinaan Program :
a)      Perluasan jangkauan pelayanan ke seluruh lapisan masyarakat pekerja formal & informal melalui sistem yankes yang sudah berjalan & potensi pranata sosial yang sudah ada.
b)      Peningkatan mutu pelayanan dengan standardisasi, akreditasi & SIM (Sistem Informasi Manajemen)
c)      Promosi K3 dilaksanakan dengan pendekatan Advokasi, Bina Suasana, dan Pemberdayaan & Pembudayaan K3 dikalangan dunia usaha & keluarganya serta masyarakat sekelilingnya.
d)     Pengembangan program Upaya Kesehatan Kerja melalui Kabupaten/Kota.
  1. Pembinaan Institusi pada Pemeritah :
a)      Pengembangan jaringan jasa yg meliputi UPTD Balai Hiperkes dan KK Prov. Sumsel, Pos UKK, Puskesmas dan Klinik Perusahaan.
b)      Pengembangan jaringan kerjasama & penunjang, baik lintas program maupun lintas sektor.
c)      Pelembagaan K3 di tempat kerja yang merupakan wahana utama penerapan program K3.
d)     Memperjelas peran manajemen & serikat pekerja dalam program K3.
  1. Peningkatan Profesionalisme :
a)      Penambahan tenaga ahli K3 di Provinsi dan Kabupaten/Kota.
b)      Peningkatan Kemampuan & Keterampilan K3 petugas kesehatan melalui Diklat.
c)      Pengembangan profesionalisme K3 bekerjasama dengan ikatan profesi terkait.



E.  PELAYANAN KESEHATAN KERJA
Pelayanan kesehatan kerja adalah  pelayanan kesehatan yang diselenggarakan di tempat kerja dengan tujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap tenaga kerja yang berdampak positif bagi peningkatan produktifitas kerja.
Syarat pengadaan pelayanan kesehatan kerja, didasarkan pada :
1.       UU Nomor : 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
2.       Peraturan Menakertrans Nomor : Per. 03/MEN/1980 tentang Pemeriksaan Kesehatan Tenaga Kerja dalam Penyelenggaraan Keselamatan Kerja;
3.       Peraturan Menakertrans RI Nomor : 03/MEN/1982 tentang Pelayanan Kesehatan kerja, dimana Pelayanan Kesehatan kerja diadakan tergantung pada jumlah tenaga kerja & tingkat bahayanya
4.       Kepmenkes No. 920 tahun 1986 tentang upaya pelayanan swasta di bidang medik.

F. RUANG LINGKUP KEGIATAN PELAYANAN KESEHATAN KERJA
1.      Pemeriksaan dan seleksi calon pekerja & pekerja
2.      Pemeliharaan kesehatan (promotif, preventif, kuratif & rehabilitatif)
3.      Peningkatan mutu & kondisi tempat kerja
4.      Penyerasian kapasitas kerja, beban kerja & lingkungan kerja
5.      Pembentukan & pembinaan partisipasi masyarakat pekerja dalam pelayanan kesehatan kerja

G.  JENIS PROGRAM PELAYANAN KESEHATAN KERJA
Program Pelayanan kesehatan kerja lebih ditekankan pada pelayanan:
1.      Promotif,
2.      Preventif,
3.      Kuratif,
4.      Rehabilitatif.

1.    Pelayanan Kesehatan Kerja Promotif, meliputi :
§  Pendidikan dan penyuluhan tentang Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3)
§  Pemeliharaan berat badan yang ideal
§  Perbaikan gizi, menu seimbang & pemilihan makanan yang sehat & aman, Higiene Kantin.
§  Pemeliharaan lingkungan kerja yang sehat (Hygiene & sanitasi)
§  Kegiatan fisik : Olah raga, kebugaran
§  Konseling berhenti merokok
§  Koordinasi Lintas Sektor

2.    Pelayanan Kesehatan Kerja Preventif, meliputi :
§  Pemeriksaan kesehatan (awal, berkala, khusus)
§  Identifikasi & pengukuran potensi risiko
§  Pengendalian bahaya (Fisik, Kimia, Biologi, Psikologi, Ergonomi)
§  Penyakit Akibat Kerja (PAK),
§  Penyakit Akibat Hubungan Kerja (PAHK),
§  Kecelakaan Akibat Kerja (KAK) & penyakit lainnya.
§  Monitoring Lingkungan Kerja .
 3.   Pelayanan Kesehatan Kerja Kuratif, meliputi :
§  Pertolongan pertama pada kasus emergency.
§  Pemeriksaan fisik dan penunjang
§  Melakukan rujukan
§  Pelayanan diberikan pada pekerja yang sudah mengalami gangguan kesehatan.
§  Pelayanan diberikan meliputi pengobatan terhadap penyakit umum maupun penyakit akibat kerja.
§  Terapi Penyakit Akibat Kerja (PAK) dengan terapi kasual/utama & terapi simtomatis.

4.    Pelayanan Kesehatan Kerja Rehabilitatif, meliputi :
§   Rehabilitasi medik
§   Latihan dan pendidikan pekerja untuk dapat menggunakan kemampuannya yang masih ada secara maksimal.
§   Penempatan kembali pekerja yang cacat secara selektif sesuai kemampuannya.







BAB IV
PENUTUP

A.  KESIMPULAN
  1. Kesehatan kerja adalah ilmu yang mendalami masalah hubungan dua arah antara pekerjaan dan kesehatan.
  2. Kapasitas kerja merupakan status kesehatan kerja dan gizi kerja yang baik serta kemampuan fisik yang prima diperlukan agar pekerja dapat melakukan pekerjaannya dengan baik.
  3. Beban kerja merupakan beban kerja fisik maupun mental. Akibat beban kerja terlalu berat atau kemampuan fisik yang terlalu lemah dapat mengakibatkan seseorang pekerja menderita gangguan atau penyakit akibat kerja.
  4. Kondisi lingkungan kerja yaitu keadaan lingkungan tempat kerja, misalnya panas,debu, zat kimia dan lain-lain, dapat merupakan bebam tambahan trhadap pekerja. Beban - beban tambahan tersebut secara sendiri-sendiri atau bersama sama menjadi gangguan atau penyakit akibat kerja
  5. Strategi dalam Kesehatan kerja meliputi :
1.      Pembinaan program
2.      Pembinaan institusi
3.      Peningkatan profesionalisme.
  1. Program Pelayanan kesehatan kerja lebih ditekankan pada pelayanan:
1.      Promotif
2.      Preventif

3.      Kuratif
4.      Rehabilitatif.
  1. Sasaran kesehatan kerja ditujukan untuk melindungi Tenaga Kerja & orang lain yang berada di tempat  kerja, terjadinya kecelakaan kerja, peledakan, penyakit akibat  kerja kebakaran, & polusi yang memberi dampak negatif terhadap korban, keluarga korban, perusahaan, teman sekerja korban, pemerintah dan masyarakat.

B. SARAN :
  1. Penambahan tenaga ahli K3 di Provinsi dan Kabupaten/Kota.
  2. Peningkatan Kemampuan & Keterampilan K3 petugas kesehatan melalui Diklat.
  3. Pengembangan profesionalisme K3 bekerjasama dengan ikatan profesi terkait.
  4. Perlu dilakukan pelaksanaan upaya Kesehatan  agar tercipta tempat kerja yang aman, sehat, bebas dari pencemaran lingkungan, sehingga dapat mengurangi atau bebas dari kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja yang pada akhirnya dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas  kerja .
  5. Lebih memperdalam lagi pengetahuan tentang Kesehatan melalui Pendidikan dan Pelatihan terkait khususnya di bidang Kesehatan Kerja.




DAFTAR PUSTAKA

  1. Peraturan Gubernur Sumatera Selatan Nomor : 04 Tahun 2009, Tugas Pokok dan Fungsi UPTD Balai Hiperkes dan Keselamatan Kerja pada Disnakertrans, Provinsi Sumatera Selatan.
  2. Harington. 2005. Buku saku Kesehatan Kerja. Jakarta: EGC
  3. Suma’mur. 1990 Keselamatan kerja dan pencegahan kecelakaan. Jakarta: CV Haji Masagung
  4. Buqhari. 2007 Manajement Kesehatan Kerja & Alat Pelindung Diri. USU